Sebuah cerpen pendidikan yang sanggup kau baca dan kalu ambil hikmah dan masukan pendidikan didalamnya..
Demikian cerpen pendidikan kali ini, semoga menginspirasi...
Cerpen pendidikan - Pesan Itu Masih Ada
Debu itu terus melayang-layang mengikuti hembusan angin. Suara goresan lembut dengan perlahan menyentuh ranting-ranting pohon tanpa daun. Dengan riangnya, udara gerah tadi memaksa masuk ke sudut perkampungan. Membuat perkampungan itu terasa tak bernyawa. Air yang turun di isu terkini penghujan, tidak bisa lagi bertahan lama. Yang tersisa hanya tanah kering penuh retakan. Bagaikan pasir yang selalu di lalap api tak henti.
Kampung itu mempunyai warga yang gigih dalam bekerja, warga yang selalu berusaha keras untuk mendapat uang demi tuntutan sesuap nasi bagi keluarganya. Tak ada kata mengalah dalam diri mereka. Bahkan gerah dan hujan, tidak menjadi halangan dalam bekerja. Mereka bukanlah seorang Dokter, Pengusaha, atau para Koruptor. Mereka hanyalah seorang pemulung yang berjuang untuk hidup dan pergi ke kota untuk memulung.
Dulu, perkampungan ini mempunyai tanah yang rindang. Air tersimpan dengan banyak dan warganya sejahtera. Mereka bekerja sebagai petani. Dan air mengalir ke sawah-sawah tanpa halangan. Namun, kehidupan mereka sekarang terampas oleh para penguasa tak berperasaan. Tanah mereka di jual ke pihak aneh tanpa komitmen terludang keringh lampau. Pohon di tebas secara membabi buta. Sekarang mereka sedang berjuang untuk hidup, dengan asa bahwa hidup ini mungkin akan berubah. Sungguh ironi nasib bangsa ini.
“Yakin!”, itulah isi hati seorang bapak yang sedang mengayuh sepeda dengan tenggorokannya yang kering. Kakinya yang dulu kekar, sekarang tak berdaya lagi untuk melaju cepat di jalan kering ini. Hembusan napas dengan tergesa-gesa menggambarkan ia sedang terburu-buru. Memang, terlihat anak kecil sedang duduk berpegangan dekat ke pinggang ayahnya. Anak itu menggunakan seragam putih merah. Kira-kira berumur 9 tahun. Jam mengambarkan pukul 7.30. Mereka terlambat ke sekolah.
__________________
Kehidupan yang susah ini, memaksa tiruana warga untuk tetap saling bersahaja. Mereka masih menjunjung tinggi etika istiadat para leluhur dengan perilaku toleransi yang tinggi. Namun, kenyataan pahit itu masih terasa oleh mereka. Pendidikan tidak berlaku disini. Sekolah yang ada sejauh 15 Km dari perkampungan. Karena alasan itulah hampir tiruana anak di kampung ini putus sekolah. Meskipun beberapa orangtua yang masih sadar akan pendidikan.
Angin malam yang hirau taacuh sungguh kontras dengan gerahnya matahari yang terik di siang hari. Menusuk menjalar ke seluruh tubuh. Selimut tebal tidak cukup hangat untuk menahan dinginnya udara ini. Hanya membisu dan menunggu. Menunggu sinar matahari di pagi hari yang mungkin sanggup mengahangatkan badan mereka.
Malam itu Fadil sedang berbicara dengan ayahnya. Mereka berencana untuk membeli buku catatan pelajaran PKN sebelum berangkat sekolah, alasannya yaitu buku sebelumnya telah habis di pakai dari kelas 2 SD. Toko buku itu berada di perkampungan sebelah. Dimana mereka harus memutar arah biar sanggup pergi ke perkampungan itu terludang keringh lampau. Waktu tempuh sudah mereka perhitungkan, yaitu harus berdiri ludang keringh awal dari biasanya.
Mereka berbicara dengan penuh kehangatan. Dan menjadi salah satu penghibur mereka di ketika hari-hari yang susah dan melelahkan. Sambil menepuk pundak anaknya, sang ayah berpesan ibarat biasanya. Suaranya yang lemah akhir terlekang oleh waktu, menciptakan sang ayah harus berhati-hati dalam berbicara alasannya yaitu takut tersedak. Fadil mendengarkan dengan seksama, sambil mengangguk-ngangguk terdiam. Pertanda, bahwa perkataan ayahnya sudah tidak aneh di indera pendengaran Fadil. Ibu Fadil duduk membisu di samping radionya yang lama sambil menjahit baju sobek milik sang suami.
Pagi itu, waktu tempuh yang telah di perkirakan melenceng jauh. Mereka terlambat kesekolah akhir ban sepedanya yang kempes. Karena itulah mereka harus menambal terludang keringh lampau di rumah. Untung saja, ayah Fadil dengan cekatan secara cepat sanggup mengatasinya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama.
Dengan tergesa-gesa, sang ayah terus mengayuh sepeda. Keringat terus mengalir menciptakan baju rapihnya basah. Sambil membawa buku di tangan, Fadil memegang dekat pinggang sang ayah.
Di tengah perjalanan, terlihat seorang anak seumuran Fadil menggendong anak kecil di punggungnya. Gendongan itu tertutupi tas besar yang hampir menutupi setengah tubuhnya yang mungil. Ia yaitu Arif, teman sekolah Fadil satu-satunya dari kampung sebelah. Sepeda yang tadi melaju cukup cepat sekarang berhenti. Dengan tergesa-gesa, sang ayah mencoba mengatur napas untuk bertanya kepada Arif. Seperti biasanya, tutur lembut bunyi itu terdengar merdu menyejukan hati. “Nak, kenapa kau tidak sekolah?”, tanya ayah. Arif melongo sejenak, bunyi nyaring terdengar lugu “Ayah saya sedang sakit, saya harus memulung”. Sang ayah tampak duka dan merunduk menyesal, mereka tidak sanggup berbuat apa-apa. Dengan berat hati, sepedapun kembali melaju. Fadil terus melihat Arif, tampak mengecil dan menghilang dari kejauhan.
Perjalanan hampir sampai. Namun kayuhan sepeda menjadi semakin lambat. Dengan lemas, tangan sang ayah memegang dekat tangan Fadil. Brughhh!! Sepeda terjatuh dengan tiba-tiba. Sang ayah terbujur kaku tak terusik. Fadil sembari menangis ketakutan mencoba merangkul kepala ayahnya. Wajahnya tampak pucat. Ayahnya sudah tidak bernyawa. Jeritan Fadil memanggil sang ayah menggema membelah udara sepi hamparan ladang luas kala itu. Dalam tangisannya, Fadil hanya sanggup mengingat satu pesan yang selalu di sampaikan ayahnya tiap malam, “tetap lanjutkan sekolahmu nak”.
Demikian cerpen pendidikan kali ini, semoga menginspirasi...
Advertisement