Berikut ini yakni sebuah cerpen persahabatan kiriman pembaca yang sanggup kau simak sendiri..
Sebuah Janji
Oleh: Rai Inamas Leoni
“Sahabat selalu ada disaat kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela menyerah padahal hati kecilnya menangis…”
***
Bel istirahat akan berakhir berapa menit lagi. Wina harus segera membawa buku kiprah teman-temannya ke ruang guru sebelum bel berbunyi. Jabatan wakil ketua kelas membuatnya sibuk ibarat ini. Gubrak…. Buku-buku yang dibawa Wina jatuh tiruana. Orang yang menabrak entah lari kemana. Jangankan menolongnya, meminta maaf pun tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya...” rutuk Wina. Dengan wajah masam ia mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai Wina merapikan terdengar langkah kaki yang tiba menghampirinya.
“Kasian banget. Bukunya jatuh tiruana ya?” cemoh seorang pemuda dengan senyum sinis. Sejenak Wina berhenti merapikan buku-buku, ia mencoba melihat orang yang berani mencemohnya. Ternyata beliau lagi. Cowok berpostur tinggi dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Wina benci banget sama pemuda ini. Seumur hidup Wina nggak bakal bersikap baik sama pemuda yang ada di depannya ini. Lalu Wina mulai melanjutkan merapikan buku tanpa menjawaban pertanyaan pemuda tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan alisnya. Dan kembali ia tercenung alasannya cewek di depannya tidak menanggapi. Biasanya jikalau Wina terpancing dengan omongannya, perang verbal pun akan terjadi dan takkan selesai sebelum seseorang tiba melerai.
Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring. “Maksud hati pengen bantu temen gue yang buruk ini. Tapi apa daya udah keburu bel. Kaprikornus sori nggak sanggup bantu.” ucap pemuda tersebut sambil menekan kata buruk di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek yang ada di depannya. Tapi yang dinantikan tidak membalas dengan cemohan atau pun ejekan. “Lo berubah.” gumam pemuda tersebut kemudian berbalik bersiap masuk ke kelasnya. Begitu pemuda itu membalikkan badannya, Wina yang sudah selesai membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Wina mulai mengayunkan kaki kanannya kearah kaki kiri pemuda tersebut dengan keras.
“Adooooww” pekik pemuda tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejek Wina sambil berlari membawa buku-buku yang tadi sempat berserakan. Bisa membayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara Wina pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi di wajah cewek tinggi kurus tersebut.
***
“Wina….”
Wina menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata dari kejauhan Amel sahabat baiknya semenjak Sekolah Menengah Pertama sedang berlari kearahnya. Dengan santai Wina membalikkan badannya berjalan mencari motor matic kesayangannya. Ia sendiri lupa dimana menaruh motornya. Wina emang paling payah sama yang namanya mengingat sesuatu. Masih celingak-celinguk mencari motor, Amel malah menjitak kepalanya dari belakang.
“Woe non, budeg ya? Nggak denger teriakan gue. Temen macem apaan yang nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Amel dengan bibir monyong. Ciri khas cewek putih tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Mel. Gue lagi bad mood, pengen cepet pulang.”
“Bad mood? Jelas-jelas lo tadi bikin gempar satu kelas. Udah nendang kaki pemuda ampe tuh pemuda permisi pulang, nggak minta maaf lagi.” terang Amel panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang kakinya, masak segitu parahnya?” Wina benar-benar nggak nyangka. Masa sih keras banget? Tuh pemuda ternyata bener-bener lembek, pikirnya dalam hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan super duper. Kasian Alex lho.”
“Enak aja. Orang beliau yang mulai duluan.” bantah Wina membela diri.
Sejenak Amel terdiam, kemudian berlahan bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa sih kalian berdua selalu berantem? Masalahnya masih yang itu? Itu kan SMP. Dulu banget. ” ujar Amel polos, tanpa bermaksud mengingatkan tragedi yang lalu. “Lagi pula gue udah sanggup nerima kalo Alex nggak suka sama gue.”
“Tau ah gelap!”
***
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian gerah tak menyurutkan niat para siswa Sekolah Menengan Atas Harapan untuk bergegas pulang ke rumah. Wina sendiri sudah membereskan buku-bukunya. Sedangkan Amel masih berkutat pada buku catatanya kemudian sesekali menoleh ke papan tulis.
“Makanya kalo nulis jangan kayak kura-kura.” Dengan gemas Wina menjitak kepala Amel. “Duluan ya, Mel. Disuruh nyokap pulang cepet nih!” Amel hanya mendengus kemudian kembali sibuk dengan catatanya.
Saat Wina membuka pintu kelas, seseorang ternyata juga membuka pintu kelasnya dari luar. “Eh, sori..” ucap Wina kikuk. Tapi begitu sadar siapa orang yang ada di depannya, Wina pribadi ngasi tampang jutek kepada orang itu. “Ngapaen lo kesini? Masih sakit kakinya? Apa cuma diludang keringh-ludang keringhin agar kemaren pulang cepet? Hah? Kaprikornus pemuda kok bencong baget!!!”
Jujur Alex udah bosen kayak gini terus sama Wina. Dia pengen hubungannya dengan Wina sanggup kembali ibarat dulu. “Nggak usah cari gara-gara deh. Gue cuma mau cari Amel.” ucap Alex hambar sambil celingak celinguk mencari Amel. “Hey Mel!” ucap Alex riang begitu orang yang dicarinya nongol.
“Hey juga. Kaprikornus nih sekarang?” Amel sejenak melirik Wina. Lalu dilihatnya Alex mengangguk bertanda mengiyakan. “Win, kita duluan ya,” ujar Amel singkat.
Wina hanya benggong kemudian dengan cepat mengangguk. Dipandangi Amel dan Alex yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanya jadi asing setiap melihat mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu organ tubuhnya. Biasanya Alex selalu mencari problem dengannya. Namun kini berbeda. Alex tidak menggodanya dengan cemohan atau olok-olokan khasnya. Alex juga tidak menatapnya ketika ia bicara. Seperti ada yang hilang. Seperti ada yang pergi dari dirinya.
***
Byuuurr.. Fanta rasa stowberry menggalir deras dari rambut Wina hingga menetes ke kemeja putihnya. Wina nggak sanggup melawan. Ia kini ada di WC perempuan. Apalagi ini jam terakhir. Nggak ada yang akan sanggup menolongnya hingga bel pulang berbunyi.
“Maksud lo apa?” hardik Wina menantang. Ia nggak diterima di guyur kayak gini.
“Belum kapok di guyur kayak gini?” balas cewek tersebut sambil menjambak rambut Wina. “Tha, mana fanta jeruk yang tadi?” ucap cewek itu lagi, tangan kanannya masih menjambak rambut Wina. Thata pribadi memdiberi satu botol fanta jeruk yang sudah terbuka.
“Lo mau gue siram lagi?” tanya cewek itu lagi.
Halo??!! Nggak usah ditanya pun, orang bego juga tau. Mana ada orang yang secara sukarela mau berbasah ria dengan fanta stroberry atau pun jeruk? Teriak Wina dalam hati. Ia tau jikalau cewek di depannya ini berjulukan Linda. Linda dikenal sesaentro sekolah alasannya keganasannya dalam hal melabrak orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat masuk rumah sakit, mending Wina diem aja. Ia juga tau kalo Linda satu kelas dengan Alex. Wait, wait.. Alex??? Jangan-jangan beliau biang keladinya. Awas lo Lex, sampe gue tau lo biang keroknya. Gue bakal ngamuk entar di kelas lo!
“Gue rasa, gue nggak ada problem ama lo.” teriak Wina sambil mendorong Linda dengan sadisnya. Wina benar-benar nggak tahan sama perlakuan mereka. Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang terang ni nenek lampir perlu dikasi pelajaran.
Kedua sahabat Linda, Thata dan Sunbulat dengan sigap mencoba menahan Wina. Tapi Wina malah memberontak. “Buruan Lin, ntar kita ketahuan.” kata Sunbulat si cewek sawo mateng.
Selang beberapa detik, Linda kembali mengguyur Wina dengan fanta jeruk. “Jauhin Alex. Gue tau lo berdua temenan dari SMP! Dulu lo pernah nolak Alex. Tapi kenapa lo kini nggak mau ngelepas Alex?!!”
“Maksud lo?” ledek Wina sinis. “Gue nggak kenal kalian tiruana. Asal lo tau gue nggak ada apa-apa ama Alex. Lo nggak liat kerjaan gue ama tuh pemuda sinting cuma berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipi Wina. “Tapi lo seneng kan?” teriak Linda sempurna disebelah kuping Wina. Kesabaran Wina alhasil hingga di level terbawah.
Buuugg! Tonjokan Wina mengenai sempurna di hidung Linda. Linda yang murka makin meledak. Perang dunia pun tak terelakan. Tiga banding satu. Jelas Wina kalah. Tak perlu lama, Wina sudah jatuh terduduk lemas. Rambutnya sudah berair dan sakit alasannya dijambak, pjpinya sakit kena tamparan. Kepalanya terasa pening.
“Beraninya cuma keroyokan!” hardik seorang pemuda dengan tegas. Serempak trio geng labrak menoleh untuk melihat orang itu, Wina juga ingin, tapi tertutup oleh Linda. Dari suaranya Wina sudah tau. Tapi Ia nggak tau bener apa salah.
“Pergi lo tiruana. Sebelum gue laporin.” ujar pemuda itu singkat. Samar-samar Wina melihat geng labrak pergi dengan buru-buru. Lalu pemuda tadi menghampiri Wina dan membantunya untuk berdiri. “Lo nggak apa-apa kan, Win?”
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
***
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Wina dan Alex berada di ruang UKS. Wina membaringkan diri daerah tidur yang tersedia di UKS. Alex memegangi sapu tangan hambar yang diletakkan di sekitar pipi Wina. Wina lemas luar biasa. Kalau beliau masih punya tenaga, beliau nggak bakalan mau tangan Alex nyentuh pipinya sendiri. Tapi alasannya terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar lo pulang gimana?” tanya Alex polos.
“Nggak gimana-mana. Pulang ya pulang.” balasan Wina jutek. Rasanya Wina makin benci sama yang namanya Alex. Gara-gara Alex dirinya dilabrak hidup-hidup. Tapi jikalau Alex nggak datang. Mungkin beliau bakal pingsan duluan sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek lo ya?” ucap Wina dengan wajah jengkel.
“Nggak.”
“Trus kok beliau malah ngelabrak gue? Isi nyuruh jauhin lo segala. Emang beliau siapa? “ rutuk Wina kesal seribu kesal. Ups! Kok gue ngomong kayak gue nggak mau jauh-jauh ama Alex. Aduuuhh…
Alex sejenak tersenyum. “Dia tuh cewek yang gue tolak. Kaprikornus beliau tau tiruananya wacana gue dan termasuk wacana lo” ucap Alex sambil menunjuk Wina.
Wina diam. Dia nggak tau harus ngapain sesudah Alex menunjuknya. Padahal cuma nunjuk. “Ntar sanggup pulang sendiri kan?” tanya Alex.
“Bisalah. Emang lo mau nganter gue pulang?”
“Emang lo kira gue udah lupa sama rumah lo? Jangan kira lo nolak gue terus gue depresi terus lupaen segala sesuatu wacana diri lo. Gue masih paham bener wacana diri lo. Malah perasaan gue masi sama kayak dulu.” terang Alex sejelas-selasnya. Alex pikir kini udah saatnya ngungkapin unek-uneknya.
“Lo ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat lo!” ancam Wina. Nih orang emang sinting. Gue gres kena petaka yang bikin kepala puyeng, malah dikasi dialog yang makin puyeng.
“Perasaan gue masih kayak dulu, belum berubah sedikit pun. Asal lo tau, gue selalu cari gara-gara ama lo itu ada maksudnya. Gue nggak pengen kita musuhan, diem-dieman, atau apalah. Pas lo nolak gue, gue nggak terima. Tapi seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama. Gue coba buat nerima. Tapi nggak tau kenapa lo malah diemin gue. Akhirnya gue kesel, dan tanpa sadar gue malah ngajakin lo berantem.” Sejenak Alex menanrik nafas. “Lo mau nggak jadi pacar gue? Apapun jawabanannya gue terima.”
Hening sejenak diantara mereka berdua. “Kayaknya gue pulang duluan deh.” Ucap Wina sambil buru-buru mengambil tasnya. Inilah kudang keringasaan Wina, selalu mengelak selalu menghindar pada realita. Ia bener-bener nggak tau harus ngapaen. Dulu ia nolak Alex alasannya Amel juga suka Alex. Tapi sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue pindah sekolah.” Alex berbicara sempurna ketika Wina sudah berada di ambang pintu UKS.
Wina membisu tak sanggup berkata-kata. Dilangkahkan kakinya pergi meninggalkan UKS. Meninggalkan Alex yang termenung sendiri.
***
Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa anak didik yang gres datang. Diliriknya dingklik sebelah. Amel belum datang. Wina sendiri tumben tiba pagi. Biasanya ia tiba 5 menit sebelum bel, disaat kelas sudah padat akan penduduk. Semalam Wina nggak sanggup tidur. Entah kenapa bayangan Alex selalu terbesit di benaknya. Apa benar Alex pindah sekolah? Kenapa harus pindah? Peduli amat Alex mau pindah apa nggak, batin Wina. “Argggg… Kenapa sih gue mikir beliau terus?”
“Mikirin Alex maksud lo?” ucap Amel tiba-tiba udah ada disamping Wina. “Nih hadiah dari pangeran lo.” Dilihatnya Amel mengeluarkan kotak biru berukuran sedang. Karena ingin tau dengan cepat Wina membuka kotak tersebut. Isinya bingkai foto bermotif rainbow dengan foto Wina dan Alex ketika mengikuti MOS Sekolah Menengah Pertama didalamnya. Terdapat sebuah kertas. Dengan segera dibacanya surat tersebut.
Dear wina,
Inget ga pertama kali kita kenalan? Pas itu lo nangis gara-gara di aturan ama osis. Dalam hati gue ketawa, kok ada sih cewek penangis kayak gini? Hehe.. kidding. Lo dulu pernah bilang pengen liat pelangi tapi ga pernah kesampaian. Semoga lo seneng sama pelangi yang ada di bingkai foto. Mungkin gue ga sanggup nunjukin pelangi ketika ini coz gue harus ikut ortu yang pindah tugas. Tapi suatu hari nanti gue bakal nunjukin ke lo gimana indahnya pelangi. Tunggu gue dua tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat lo ga mau jadi pacar gue.
“Kenapa lo nggak mau nerima dia? Gue tau lo suka Alex tapi lo nggak mau nyakitin gue.” sejenak Amel tersenyum. “Percaya deh, kini gue udah nggak ada rasa sama Alex. Dia cuma temen kecil gue dan nggak akan ludang keringh.”
“Thanks Mel. Lo emang sahabat terbaik gue.” ucap Wina tulus. “Tapi gue tetap pada prinsip gue.”
Amel terlihat menerawang. “Jujur, waktu gue tau Alex suka sama lo dan cuma nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue pengen teriak sama tiruana orang, kenapa dunia nggak adil sama gue. Tapi seiring berjalannya waktu gue sadar kalo nggak tiruana yang kita inginkan yakni yang terbaik untuk kita.” senyum kembali menghiasi wajah mungilnya. “Dan lo harus komitmen sama gue kalo lo bakal jujur wacana persaan lo sama Alex. Janji?” lanjut Amel sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Ingin rasanya Wina menolak. Amel terlalu baik baginya. Dia sendiri tau hingga ketika ini Amel belum sepenuhnya melupakan Alex. Tapi Wina juga tak ingin mengecewakan Amel. Berlahan diangkatnya jari kelingkingnya.
“Janji..” gumam Wina lirih.
***
By : Rai Inamas Leoni
TTL : Denpasar, 08 Agustus 1995
Sekolah : Sekolah Menengan Atas Negeri 7 Denpasar
Blog : raiinamas.blogspot.com
Sebuah Janji
Oleh: Rai Inamas Leoni
“Sahabat selalu ada disaat kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela menyerah padahal hati kecilnya menangis…”
***
Bel istirahat akan berakhir berapa menit lagi. Wina harus segera membawa buku kiprah teman-temannya ke ruang guru sebelum bel berbunyi. Jabatan wakil ketua kelas membuatnya sibuk ibarat ini. Gubrak…. Buku-buku yang dibawa Wina jatuh tiruana. Orang yang menabrak entah lari kemana. Jangankan menolongnya, meminta maaf pun tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya...” rutuk Wina. Dengan wajah masam ia mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai Wina merapikan terdengar langkah kaki yang tiba menghampirinya.
“Kasian banget. Bukunya jatuh tiruana ya?” cemoh seorang pemuda dengan senyum sinis. Sejenak Wina berhenti merapikan buku-buku, ia mencoba melihat orang yang berani mencemohnya. Ternyata beliau lagi. Cowok berpostur tinggi dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Wina benci banget sama pemuda ini. Seumur hidup Wina nggak bakal bersikap baik sama pemuda yang ada di depannya ini. Lalu Wina mulai melanjutkan merapikan buku tanpa menjawaban pertanyaan pemuda tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan alisnya. Dan kembali ia tercenung alasannya cewek di depannya tidak menanggapi. Biasanya jikalau Wina terpancing dengan omongannya, perang verbal pun akan terjadi dan takkan selesai sebelum seseorang tiba melerai.
Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring. “Maksud hati pengen bantu temen gue yang buruk ini. Tapi apa daya udah keburu bel. Kaprikornus sori nggak sanggup bantu.” ucap pemuda tersebut sambil menekan kata buruk di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek yang ada di depannya. Tapi yang dinantikan tidak membalas dengan cemohan atau pun ejekan. “Lo berubah.” gumam pemuda tersebut kemudian berbalik bersiap masuk ke kelasnya. Begitu pemuda itu membalikkan badannya, Wina yang sudah selesai membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Wina mulai mengayunkan kaki kanannya kearah kaki kiri pemuda tersebut dengan keras.
“Adooooww” pekik pemuda tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejek Wina sambil berlari membawa buku-buku yang tadi sempat berserakan. Bisa membayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara Wina pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi di wajah cewek tinggi kurus tersebut.
***
“Wina….”
Wina menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata dari kejauhan Amel sahabat baiknya semenjak Sekolah Menengah Pertama sedang berlari kearahnya. Dengan santai Wina membalikkan badannya berjalan mencari motor matic kesayangannya. Ia sendiri lupa dimana menaruh motornya. Wina emang paling payah sama yang namanya mengingat sesuatu. Masih celingak-celinguk mencari motor, Amel malah menjitak kepalanya dari belakang.
“Woe non, budeg ya? Nggak denger teriakan gue. Temen macem apaan yang nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Amel dengan bibir monyong. Ciri khas cewek putih tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Mel. Gue lagi bad mood, pengen cepet pulang.”
“Bad mood? Jelas-jelas lo tadi bikin gempar satu kelas. Udah nendang kaki pemuda ampe tuh pemuda permisi pulang, nggak minta maaf lagi.” terang Amel panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang kakinya, masak segitu parahnya?” Wina benar-benar nggak nyangka. Masa sih keras banget? Tuh pemuda ternyata bener-bener lembek, pikirnya dalam hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan super duper. Kasian Alex lho.”
“Enak aja. Orang beliau yang mulai duluan.” bantah Wina membela diri.
Sejenak Amel terdiam, kemudian berlahan bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa sih kalian berdua selalu berantem? Masalahnya masih yang itu? Itu kan SMP. Dulu banget. ” ujar Amel polos, tanpa bermaksud mengingatkan tragedi yang lalu. “Lagi pula gue udah sanggup nerima kalo Alex nggak suka sama gue.”
“Tau ah gelap!”
***
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian gerah tak menyurutkan niat para siswa Sekolah Menengan Atas Harapan untuk bergegas pulang ke rumah. Wina sendiri sudah membereskan buku-bukunya. Sedangkan Amel masih berkutat pada buku catatanya kemudian sesekali menoleh ke papan tulis.
“Makanya kalo nulis jangan kayak kura-kura.” Dengan gemas Wina menjitak kepala Amel. “Duluan ya, Mel. Disuruh nyokap pulang cepet nih!” Amel hanya mendengus kemudian kembali sibuk dengan catatanya.
Saat Wina membuka pintu kelas, seseorang ternyata juga membuka pintu kelasnya dari luar. “Eh, sori..” ucap Wina kikuk. Tapi begitu sadar siapa orang yang ada di depannya, Wina pribadi ngasi tampang jutek kepada orang itu. “Ngapaen lo kesini? Masih sakit kakinya? Apa cuma diludang keringh-ludang keringhin agar kemaren pulang cepet? Hah? Kaprikornus pemuda kok bencong baget!!!”
Jujur Alex udah bosen kayak gini terus sama Wina. Dia pengen hubungannya dengan Wina sanggup kembali ibarat dulu. “Nggak usah cari gara-gara deh. Gue cuma mau cari Amel.” ucap Alex hambar sambil celingak celinguk mencari Amel. “Hey Mel!” ucap Alex riang begitu orang yang dicarinya nongol.
“Hey juga. Kaprikornus nih sekarang?” Amel sejenak melirik Wina. Lalu dilihatnya Alex mengangguk bertanda mengiyakan. “Win, kita duluan ya,” ujar Amel singkat.
Wina hanya benggong kemudian dengan cepat mengangguk. Dipandangi Amel dan Alex yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanya jadi asing setiap melihat mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu organ tubuhnya. Biasanya Alex selalu mencari problem dengannya. Namun kini berbeda. Alex tidak menggodanya dengan cemohan atau olok-olokan khasnya. Alex juga tidak menatapnya ketika ia bicara. Seperti ada yang hilang. Seperti ada yang pergi dari dirinya.
***
Byuuurr.. Fanta rasa stowberry menggalir deras dari rambut Wina hingga menetes ke kemeja putihnya. Wina nggak sanggup melawan. Ia kini ada di WC perempuan. Apalagi ini jam terakhir. Nggak ada yang akan sanggup menolongnya hingga bel pulang berbunyi.
“Maksud lo apa?” hardik Wina menantang. Ia nggak diterima di guyur kayak gini.
“Belum kapok di guyur kayak gini?” balas cewek tersebut sambil menjambak rambut Wina. “Tha, mana fanta jeruk yang tadi?” ucap cewek itu lagi, tangan kanannya masih menjambak rambut Wina. Thata pribadi memdiberi satu botol fanta jeruk yang sudah terbuka.
“Lo mau gue siram lagi?” tanya cewek itu lagi.
Halo??!! Nggak usah ditanya pun, orang bego juga tau. Mana ada orang yang secara sukarela mau berbasah ria dengan fanta stroberry atau pun jeruk? Teriak Wina dalam hati. Ia tau jikalau cewek di depannya ini berjulukan Linda. Linda dikenal sesaentro sekolah alasannya keganasannya dalam hal melabrak orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat masuk rumah sakit, mending Wina diem aja. Ia juga tau kalo Linda satu kelas dengan Alex. Wait, wait.. Alex??? Jangan-jangan beliau biang keladinya. Awas lo Lex, sampe gue tau lo biang keroknya. Gue bakal ngamuk entar di kelas lo!
“Gue rasa, gue nggak ada problem ama lo.” teriak Wina sambil mendorong Linda dengan sadisnya. Wina benar-benar nggak tahan sama perlakuan mereka. Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang terang ni nenek lampir perlu dikasi pelajaran.
Kedua sahabat Linda, Thata dan Sunbulat dengan sigap mencoba menahan Wina. Tapi Wina malah memberontak. “Buruan Lin, ntar kita ketahuan.” kata Sunbulat si cewek sawo mateng.
Selang beberapa detik, Linda kembali mengguyur Wina dengan fanta jeruk. “Jauhin Alex. Gue tau lo berdua temenan dari SMP! Dulu lo pernah nolak Alex. Tapi kenapa lo kini nggak mau ngelepas Alex?!!”
“Maksud lo?” ledek Wina sinis. “Gue nggak kenal kalian tiruana. Asal lo tau gue nggak ada apa-apa ama Alex. Lo nggak liat kerjaan gue ama tuh pemuda sinting cuma berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipi Wina. “Tapi lo seneng kan?” teriak Linda sempurna disebelah kuping Wina. Kesabaran Wina alhasil hingga di level terbawah.
Buuugg! Tonjokan Wina mengenai sempurna di hidung Linda. Linda yang murka makin meledak. Perang dunia pun tak terelakan. Tiga banding satu. Jelas Wina kalah. Tak perlu lama, Wina sudah jatuh terduduk lemas. Rambutnya sudah berair dan sakit alasannya dijambak, pjpinya sakit kena tamparan. Kepalanya terasa pening.
“Beraninya cuma keroyokan!” hardik seorang pemuda dengan tegas. Serempak trio geng labrak menoleh untuk melihat orang itu, Wina juga ingin, tapi tertutup oleh Linda. Dari suaranya Wina sudah tau. Tapi Ia nggak tau bener apa salah.
“Pergi lo tiruana. Sebelum gue laporin.” ujar pemuda itu singkat. Samar-samar Wina melihat geng labrak pergi dengan buru-buru. Lalu pemuda tadi menghampiri Wina dan membantunya untuk berdiri. “Lo nggak apa-apa kan, Win?”
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
***
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Wina dan Alex berada di ruang UKS. Wina membaringkan diri daerah tidur yang tersedia di UKS. Alex memegangi sapu tangan hambar yang diletakkan di sekitar pipi Wina. Wina lemas luar biasa. Kalau beliau masih punya tenaga, beliau nggak bakalan mau tangan Alex nyentuh pipinya sendiri. Tapi alasannya terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar lo pulang gimana?” tanya Alex polos.
“Nggak gimana-mana. Pulang ya pulang.” balasan Wina jutek. Rasanya Wina makin benci sama yang namanya Alex. Gara-gara Alex dirinya dilabrak hidup-hidup. Tapi jikalau Alex nggak datang. Mungkin beliau bakal pingsan duluan sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek lo ya?” ucap Wina dengan wajah jengkel.
“Nggak.”
“Trus kok beliau malah ngelabrak gue? Isi nyuruh jauhin lo segala. Emang beliau siapa? “ rutuk Wina kesal seribu kesal. Ups! Kok gue ngomong kayak gue nggak mau jauh-jauh ama Alex. Aduuuhh…
Alex sejenak tersenyum. “Dia tuh cewek yang gue tolak. Kaprikornus beliau tau tiruananya wacana gue dan termasuk wacana lo” ucap Alex sambil menunjuk Wina.
Wina diam. Dia nggak tau harus ngapain sesudah Alex menunjuknya. Padahal cuma nunjuk. “Ntar sanggup pulang sendiri kan?” tanya Alex.
“Bisalah. Emang lo mau nganter gue pulang?”
“Emang lo kira gue udah lupa sama rumah lo? Jangan kira lo nolak gue terus gue depresi terus lupaen segala sesuatu wacana diri lo. Gue masih paham bener wacana diri lo. Malah perasaan gue masi sama kayak dulu.” terang Alex sejelas-selasnya. Alex pikir kini udah saatnya ngungkapin unek-uneknya.
“Lo ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat lo!” ancam Wina. Nih orang emang sinting. Gue gres kena petaka yang bikin kepala puyeng, malah dikasi dialog yang makin puyeng.
“Perasaan gue masih kayak dulu, belum berubah sedikit pun. Asal lo tau, gue selalu cari gara-gara ama lo itu ada maksudnya. Gue nggak pengen kita musuhan, diem-dieman, atau apalah. Pas lo nolak gue, gue nggak terima. Tapi seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama. Gue coba buat nerima. Tapi nggak tau kenapa lo malah diemin gue. Akhirnya gue kesel, dan tanpa sadar gue malah ngajakin lo berantem.” Sejenak Alex menanrik nafas. “Lo mau nggak jadi pacar gue? Apapun jawabanannya gue terima.”
Hening sejenak diantara mereka berdua. “Kayaknya gue pulang duluan deh.” Ucap Wina sambil buru-buru mengambil tasnya. Inilah kudang keringasaan Wina, selalu mengelak selalu menghindar pada realita. Ia bener-bener nggak tau harus ngapaen. Dulu ia nolak Alex alasannya Amel juga suka Alex. Tapi sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue pindah sekolah.” Alex berbicara sempurna ketika Wina sudah berada di ambang pintu UKS.
Wina membisu tak sanggup berkata-kata. Dilangkahkan kakinya pergi meninggalkan UKS. Meninggalkan Alex yang termenung sendiri.
***
Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa anak didik yang gres datang. Diliriknya dingklik sebelah. Amel belum datang. Wina sendiri tumben tiba pagi. Biasanya ia tiba 5 menit sebelum bel, disaat kelas sudah padat akan penduduk. Semalam Wina nggak sanggup tidur. Entah kenapa bayangan Alex selalu terbesit di benaknya. Apa benar Alex pindah sekolah? Kenapa harus pindah? Peduli amat Alex mau pindah apa nggak, batin Wina. “Argggg… Kenapa sih gue mikir beliau terus?”
“Mikirin Alex maksud lo?” ucap Amel tiba-tiba udah ada disamping Wina. “Nih hadiah dari pangeran lo.” Dilihatnya Amel mengeluarkan kotak biru berukuran sedang. Karena ingin tau dengan cepat Wina membuka kotak tersebut. Isinya bingkai foto bermotif rainbow dengan foto Wina dan Alex ketika mengikuti MOS Sekolah Menengah Pertama didalamnya. Terdapat sebuah kertas. Dengan segera dibacanya surat tersebut.
Dear wina,
Inget ga pertama kali kita kenalan? Pas itu lo nangis gara-gara di aturan ama osis. Dalam hati gue ketawa, kok ada sih cewek penangis kayak gini? Hehe.. kidding. Lo dulu pernah bilang pengen liat pelangi tapi ga pernah kesampaian. Semoga lo seneng sama pelangi yang ada di bingkai foto. Mungkin gue ga sanggup nunjukin pelangi ketika ini coz gue harus ikut ortu yang pindah tugas. Tapi suatu hari nanti gue bakal nunjukin ke lo gimana indahnya pelangi. Tunggu gue dua tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat lo ga mau jadi pacar gue.
“Kenapa lo nggak mau nerima dia? Gue tau lo suka Alex tapi lo nggak mau nyakitin gue.” sejenak Amel tersenyum. “Percaya deh, kini gue udah nggak ada rasa sama Alex. Dia cuma temen kecil gue dan nggak akan ludang keringh.”
“Thanks Mel. Lo emang sahabat terbaik gue.” ucap Wina tulus. “Tapi gue tetap pada prinsip gue.”
Amel terlihat menerawang. “Jujur, waktu gue tau Alex suka sama lo dan cuma nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue pengen teriak sama tiruana orang, kenapa dunia nggak adil sama gue. Tapi seiring berjalannya waktu gue sadar kalo nggak tiruana yang kita inginkan yakni yang terbaik untuk kita.” senyum kembali menghiasi wajah mungilnya. “Dan lo harus komitmen sama gue kalo lo bakal jujur wacana persaan lo sama Alex. Janji?” lanjut Amel sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Ingin rasanya Wina menolak. Amel terlalu baik baginya. Dia sendiri tau hingga ketika ini Amel belum sepenuhnya melupakan Alex. Tapi Wina juga tak ingin mengecewakan Amel. Berlahan diangkatnya jari kelingkingnya.
“Janji..” gumam Wina lirih.
***
By : Rai Inamas Leoni
TTL : Denpasar, 08 Agustus 1995
Sekolah : Sekolah Menengan Atas Negeri 7 Denpasar
Blog : raiinamas.blogspot.com
Advertisement